Sabtu, 13 November 2010

MENGOPTIMALKAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (2)

II. MENAKAR KEBUTUHAN HARA TANAMAN JAGUNG

2.1 Pemupukan Berbasis Kebutuhan Tanaman

       Budidaya tanaman adalah manajemen dalam memadukan teknologi dan kemampuan (skill) dalam memanfaatkan sumberdaya, termasuk unsur hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan produk secara efisien dan menguntungkan (Sanchez, 1976). Dalam dua dasawarsa terakhir, aplikasi teknologi penggunaan pupuk kimia dan pestisida berkembang pesat. Penggunaan input agro kimia secara tidak terkendali menjadi penyebab turunnya produktivitas, kualitas sumberdaya, dan pencemaran lingkungan (Kruseman et al., 1993; Stringer, 1998).Berdasarkan hal tersebut, pengembangan inovasi budidaya ke depan perlu memperhatikan penggunaan input sesuai kebutuhan tanaman (feed what the crop needs) tanpa menimbulkan dampak negatif bagi sumberdaya dan lingkungan.
       Isu pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) muncul setelah adanya kesalahan pada era Revolusi Hijau (Sachs, 1987), di mana penggunaan bahan agro kimia cenderung berlebihan yang mencemari lingkungan dan menurunkan kualitas produk pertanian. Budidaya berkelanjutan mengaplikasikan teknologi yang bersifat efisien dan ramah lingkungan (Suwandi dan Asandhi, 1995; Reijntjes et al., 1999).Input yang digunakan lebih mengutamakan bahan organik atau bahan alami sebagai sumber pupuk atau pestisida (Van Keulen, 1995). Sistem pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar kebijakan dalam pengembangan pertanian di setiap negara (Brown, 1989; Stringer, 1998).
       Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai kegiatan usaha pertanian yang mantap secara ekologis, berlanjut secara ekonomis, adil dalam pemanfaatan sumberdaya dan distribusinya, manusiawi untuk semua aspek kehidupan, dan luwes terhadap perubahan lingkungan usahatani yang dinamis (Gips, 1986). Tingkat keberhasilannya lebih menekankan pada aspek keselrasan dan keterpaduan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan (TAC/CCGIAR, 1988; Stringer, 1998). Pada prinsipnya, feed what the crop needs adalah pemberian unsur hara secara akurat sesuai kebutuhan tanaman dan status hara dalam tanah untuk mencapai tujuan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kelestarian lingkungan serta keterlanjutan usahatani. Prinsip ini hampir sama dengan konsep "pemupukan berimbang" dalam arti yangbenarnya, bukan yang seringkali disalahartikan sebagai "penggunaan pupuk majemuk". Pendekatannya telah dikembangkan oleh pakar pemupukan dalam menentukan kebutuhan unsur hara atau pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman.
         Pendekatan pola pertanian perspektif atau sistem pakar dalam menakar kebutuhan hara tanaman ke depan diharapkan dapat menggunakan model harmoni, yaitu sistem pakar yang mampu menjadi enabler pencapaian tujuan keunggulan kompetitif usahatani. ini menggabungkan basis data analisis tanah dan analisis tanaman, termasuk aspek tanaman spesifik. Data hasil analisis tanah menjadi dasar penetapan kemampuan tanah menyediakan hara yang dapat segera dimanfaatkan tanaman (Corey, 1973), sedangkan data hasil analisis tanaman, baik periodik maupun serapan total hara tanaman (total uptake), dapat dijadikan alat penakar kebutuhan hara tanaman untuk satuan produksi di lapangan (Geraldson et al., 1973). Besarnya serapan total hara untuk satuan produksi yang diharapkan dikurangi jumlah hara tanah yang tersedia menjadi kebutuhan riil unsur hara yang dibutuhkan.
        Masalah umum dalam pemupukan adalah rendahnya efisiensi serapan hara oleh tanaman.Tingkat ketersediaan hara bagi tanaman bergantung pada banyak faktor, antara lain status hara dalam tanah dengan keragaman jenis dan sifatnya, ketersediaan air, jenis tanaman yang diusahakan, dan pola pemupukan sebelumnya (Sanchez, 1976; Tisdale et al., 1985). Dalam menakar kebutuhan hara tanaman, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu karakteristik fisiologis dan ekologis tanaman.Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk dapat ditempuh melalui prinsip tepat jenis, tepat takaran, tepat cara, tepat waktu aplikasi, dan berimbang sesuai kebutuhan tanaman.
      Tanaman jagung membutuhkan paling kurang 13 unsur hara yang diserap melalui tanah, yaitu N, P, K, Ca, Mg, S, Cl, Fe, Mn, Cu, Zn, B, dan Mo. Hara N, P, dan K diperlukan dalam jumlah lebih banyak dan seringkali berada dalam tingkat kekurangan, sehingga disebut hara primer. Hara Ca, Mg, dan S diperlukan dalam jumlah sedang dan disebut hara sekunder. Hara primer dan hara sekunder disebut hara makro. Hara Cl, Fe, Mn, Zn, Cu, B, dan Mo diperlukan dalam jumlah sedikit dan disebut hara mikro.Unsur C, H, dan O diserap tanaman dari air dan udara.
       Pola serapan hara oleh tanaman jagung dalam satu musim mengikuti pola akumulasi bahan kering sebagaimana dijelaskan oleh Olson dan Sander (1988). N, P, dan K diserap tanaman pada pertumbuhan fase 2 dan penyerapan ini berlangsung sangat cepat selama fase vegetatif dan pengisian biji.Unsur hara N dan P diserap terus-menerus hingga mendekati fase pemasakan biji, sedangkan K terutama diperlukan pada saat silking. Sebagian besar N dan P dibawa ke titik tumbuh, batang, daun, dan bunga jantan, lalu dialihkan ke dlam biji. Sebanyak 2/3 - 3/4 unsur K tertinggal di batang. Dengan demikian, N dan P terangkut dari tanah melalui biji saat panen, tetapi K tidak. Kandungan hara tanaman jagung yang memberikan hasil biji 9,45 ton/Ha disajikan dalam Tabel 1.

       Tabel 1. Kandungan Hara Tanaman Jagung dengan Hasil Biji 9,45 Ton/Ha
       ______________________________________________________________
       Unsur hara                Dalam biji               Dalam batang                 Total
       ______________________________________________________________
       N                                 129                            62                          191
       P                                   31                              8                            39
       K                                   39                          157                          196
       Ca                                   1,5                         39                            40,5
       Mg                                11                            33                            44
       S                                   12                              9                            21
       Cl                                    4,5                         76                            80,5
       Fe                                   0,11                         2,02                         2,13
       Mn                                  0,06                         0,28                         0,34
       Cu                                  0,02                          0,09                         0,11
       Zn                                   0,19                         0,19                         0,38
       B                                     0,05                         0,14                         0,19
       Mo                                  0,006                       0,003                       0,009
       ______________________________________________________________
       Sumber: Barber & Olsen, 1968 cit. Olson & Sander, 1988

       Tanaman akan tanggap terhadap pupuk jika kadar hara berada di bawah titik kritis. Artinya, pemupukan hanya akan efektif jika diberikan dalam dosis di atas titik kritisnya. Hal ini disebabkan tidak semua pupuk yang diberikan kepada tanaman dapat diserap oleh tanaman yang bersangkutan. N yang dapat diserap  hanya sekitar 55 - 60% (Patrick and Reddy, 1976), P sekitar 20% (Hagin and Tucker, 1982), K sekitar 50 - 70% (Tisdale and Nelson, 1975), dan S sekitar 33% (Morris, 1987). Batas kritis kekurangan hara pada daun tanaman jagung pada saat silking di daerah pengembangan di Jawa disajikan dalam Tabel 2.

       Tabel 2. Batas Kritis Kekurangan Hara dalam Daun ke-5, 6, 7, dan Saat Silking
       _________________________________________________________________
          Hara tanaman                                                  Batas kritis kekurangan hara
       _________________________________________________________________
       N                                                                                                1,40%
       P                                                                                                 0,16%
       K                                                                                                2,00%
       S                                                                                                 0,12%
       Ca                                                                                               0,50%
       Mg                                                                                              0,30%
       Fe                                                                                               200 ppm
       Zn                                                                                                 15 ppm
      ________________________________________________________________
       Sumber: Fathan et al., 1988

       Selain takaran, waktu dan cara pemupukan juga sangat menentukan efisiensi penggunaan pupuk. Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan tanaman di mana hara dibutuhkan tanaman dan kehilangan pupuk melalui proses pencucian (leaching), penguapan, dan pengikatan (fixation). Unsur N banyak mengalami penguapan dan pencucian, unsur P banyak terfiksasi oleh partikel tanah, dan unsur K banyak tercuci.
       Untuk mengurangi tingkat kehilangan unsur N, pemberian pupuk N harus dilakukan secara bertahap. Pemberian pupuk N dalam 3 tahap, yaitu 1/3 dosis pada saat tanam, 1/3 dosis pada umur 30 hari setelah tanam (HST) dan 1/3 dosis pada umur 45 HST, memberikan hasil yang terbaik dengan meningkatkan efisiensi pemupukan sebesar 48,3% (Triutomo dkk., 1991). Teknik pemberian pupuk N secara tugal (pointed) atau larik (dressed) lebih hemat 55 - 66% daripada disebar (broadcasted) atau disiramkan (soluted). Pemberian 45 Kg N/Ha secara tugal atau larik memberikan hasil yang setara dengan 90 Kg N/Ha secara sebar atau siram (Fadhly dkk., 1993).
       Pupuk P sebaiknya diberikan sekali atau semua pada awal atau saat tanam. Pemberian pupuk P secara larik lebih efektif daripada secara tugal. Pemberian 60 Kg/Ha secara memberikan hasil yang setara dengan 120 Kg/Ha secara tugal (Subandhi dkk., 1990).
       Pemberian pupuk K dipengaruhi oleh jenis tanah. Pada tanah Ultisol yang bereaksi masam, pupuk K lebih baik diberikan secara bertahap, yaitu 1/2 dosis pada saat tanam dan 1/2 dosis pada umur 45 HST. Pada tanah kapuran (bereaksi basa), justru sebaliknya pupuk K lebih efektif diberikan semuanya pada saat tanam (Syafruddin dkk., 1997). Hal ini diisebabkan pada tanah kapuran, Ca akan dominan diserap tanaman jika pupuk K terlambat diberikan. Penyerapan Ca akan menghambat serapan K karena ion Ca2+ lebih mobil daripada ion K+.
       Pada lahan kering yang bereaksi masam, khususnya tanah Oxisol dan Ultisol, masalah utama pengembangan tanaman jagung dan palawija adalah kadar Al yang tinggi. Pada tanah sulfat masam, kondisi tersebut diperburuk lagi oleh kadar Fe yang tinggi yang dapat meracuni tanaman. Meskipun tanaman jagung cukup toleran terhadap keracunan Al hingga tingkat kejenuhan 40%, tetapi pada tingkat kejenuhan Al 68,5% tidak akan menghasilkan biji. pemberian kapur mutlak diperlukan untuk menetralisir Al dan Fe serta meningkatkan pH tanah dan ketersediaan hara lainnya. Pemberian bahan kapur dengan kadar 25% Ca (Muhadjir dkk., 1989) atau dengan dosis 1 - 3 ton/Ha dapat memberikan hasil jagung tertinggi dengan peningkatan sebesar 30% (Raihana, 1993).
       Pemupukan pada tanaman semusim pada umumnya ditujukan pada pemenuhan kebutuhan hara selama musim tanam atau total kebutuhan pupuk untuk setiap tanaman. Meskipun bervariasi, takaran pupuk tanaman semusim yang berumur > 2 bulan berkisar antara 100 - 200 Kg N, 50 - 180 Kg P2O5, dan 50 - 150 Kg K2O per Ha. Berdasarkan analisis dinamika unsur hara NPK dan umur fisiologis tanaman, aplikasi pupuk N dimulai pada saat tanam hingga maksimum 2/3 umur tanaman, sedangkan pupuk P dan K diaplikasikan sebelum tanam atau sebagian ditambahkan sebelum fase vegetatif maksimum. Selain NPK, perhatian terhadap hara sekunder seperti Ca, Mg, dan S menjadi relevan dengan budidaya yang intensif. Kekurangan Ca dan Mg dapat menurunkan hasil antara 5 - 30%. Pemberian Ca dan Mg dari sumber dolomit dengan takaran 1,5 ton/Ha nyata meningkatkan hasil, sekaligus mengatasi masalah kekurangan hara Ca dan Mg pada tanah Andosol di dataran tinggi (Suwandi, 1982; 1988).
       Upaya mengoptimalkan produksi tanaman ke depan masih dan akan terus bertumpu pada penggunaan input luar, termasuk pupuk organik dan kimia. Tingkat ketersediaan hara tanah bagi tanaman bergantung pada jenis tanah dan kesuburannya, Perbedaan kebutuhan hara tanaman disebabkan oleh perbedaan kemamouan tanaman atau varietas dalam hal menyerap hara dan perbedaan pengelolaan input (Hilman dan Suwandi, 1992). Atas dasar itu, sistem pakar harmoni yang menggunakan basis data analisis tanah dan tanaman dalam menakar kebutuhan hara bagi tanaman dan expertise judgement dalam pengelolaannya menjadi relevan dikembangkan dalam usahatani berkelanjutan.

2.2 Dinamika Hara dalam Tanah dan Tanaman Jagung

      Secara ekologis, terdapat perbedaan tingkat kesuburan yang tegas antara tanah-tanah di dataran tinggi dengan di dataran rendah. Jenis tanah di dataran tinggi pada umumnya Inceptisol sampai Entisol (Latosol hingga Andosol) dengan tingkat kesuburan rendah hingga sedang, sedangkan di dataran rendah pada umumnya Vertisol, Latosol, dan Aluvial dengan tingkat kesuburan sedang hingga tinggi (Nurtika dan Suwandi, 1992). Secara alami, berbagai jenis tanah tersebut memiliki sifat dan ciri khusus, misalnya perbedaan kemasaman, tingkat kesuburan, dan ketersediaan hara N, P, K, Ca, Mg, dan S. Dinamika hara pada ekosistem ini dipengaruhi oleh lingkungan ekologi, yaitu suhu tanah yang batas tertentu mempengaruhi mobilitas unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Epstein, 1978; Wien, 1997).

2.2.1 Kesuburan Tanah

       Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam yang ditentukan oleh sejumlah sifat fisika, kimia, dan biologi bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman. Kesuburan habitat akar dapat bersifat hakiki dari bagian tubuh tanah yang bersangkutan, diimbas (induced) oleh kondisi bagian lain tubuh tanah, dan/atau diciptakan oleh pengaruh anasir lain dari lahan, yaitu bentuk muka lahan, iklim, dan musim (Notohadiprawiro dkk., 2006). Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan bahan tanaman yang dipanen, maka disebut juga daya menghasilkan bahan panen atau produktivitas, yang diukur dengan bobot bahan kering yang dipungut per satuan luas per satuan waktu (Schroeder, 1984).
        Karena tujuan agronomi (hasil panen) yang dikehendaki dari pengusahaan  suatu tanaman berbeda-beda, maka kriteria dan ukuran optimum kesuburan tanah juga berbeda-beda. Setiap kombinasi jenis tanah, tanaman, dan hasil panen memerlukan cara pengelolaan kesuburan tanah sendiri-sendiri. Meskipun jenis tanamannya sama, pengelolaan kesuburan tanahnya tidak dapat disamakan jika jenis hasil panennya berbeda. Dengan demikian, pengelolaan kesuburan tanah tidak mungkin diselenggarakan dengan paket umum.
       Kesuburan tanah tidak ditentukan oleh jumlah pengaruh tiap variabel sendiri-sendiri, tetapi oleh daya pengaruh yang timbul dari hubungan interaktif atau kompensatif antar variabel. Hampir semua proses dan kejadian dalam tanah hanya dapat berlangsung karena adanya air sebagai pelaku (agent) atau medium. Proses-proses utama yang menciptakan kesuburan tanah atau sebaliknya mendorong degradasi tanah adalah hidrolisis, pelarutan, alihrupa (transformation), dan alihtempat (translocation) yang dapat menjrurs kepada pelindian (leaching), serta reduksi (gleisasi) yang dijalankan oleh air. Secara bersama-sama tekstur, struktur, mineralogi lempung dan bahan organik menentukan dinamika lengas tanah. Oleh karena itu, pengelolaan lengas tanah menjadi pokok pengelolaan kesuburan tanah.
        Struktur sendiri merupakan hasil interaksi antara tekstur, mineralogi lempung, bahan organik, dan kation-kation tertukarkan serta ketersediaan bahan perekat (gamping, zat kersik, feri oksida, dan hidroksida). Jumlah hara dan lengas tersediakan menjadi lebih banyak jika volum atau tebal tubuh tanah yang terjangkau perakaran tanaman lebih besar. Volum atau tebal tubuh tanah itu disebut volum atau tebal mempan (effective volume or depth) yang merupakan fungsi struktur, konsistensi, dan agihannya (distribution). Dari irisan tegak tanah (profil tanah) akan terlihat lapisan-lapisan mendatar dan hubungan anatara tanah yang berada di permukaan bumi dengan benda-benda di bawahnya sebagai pembentuk tanah. Lapisan-lapisan yang terlihat masing-masing disebut horison, sedangkan horison-horison yang terletak di atas bahan induk disebut solum (ladang). Lapisan tanah yang cukup banyak mengandung bahan organik berwarna gelap atau sering disebut daerah utama penimbunan bahan organik, atau dikenal dengan tanah atas, tanah olah atau topsoil. Kedalaman topsoil kira-kira sama dengan lapis bajak.Lapisan di bawah topsoil yang cukup mengalami pelapukan dan mengandung sedikit bahan organik disebut tanah bawah atau subsoil.  
       Subsoil sangat penting dalam menentuksan produktivitas tanah karena sangat sedikit dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kecil di lapangan, kecuali oleh pengeringan. Bahkan jika akar-akar tidak menembus tanah, perembesan dan sifat kimianya masih mungkin dipengaruhi oleh baik buruknya tanah sebagai medium kehidupan tanaman. Sedangkan topsoil merupakan bagian utama untuk perkembangan akar karena mengandung banyak unsur hara dan menyediakan sebagian besar kebutuhan tanaman akan air. Lapisan ini dapat diolah sesuai keinginan dan dapat diperlakukan pemupukan, pengapuran, dan drainase sehingga kesuburan dan produksitivtasnya dapat ditingkatkan, dikurangi, atau dipertahankan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai produktivitas tanah sebenarnya berkisar pada lapisan topsoil.
       Hara diserap oleh tanaman melalui aliran massa (mass flow), difusi, dan/atau serapan langsung oleh akar (root interception). Dalam aliran massa, air menjadi pembawa hara, mengalir dari tempat yang lebih basah (tegangan lengas lebih kecil) ke tempat yang lebih kering (tegangan lengas lebih besar). Karena akar menyerap air, tanah di sekitar perakaran menjadi lebih kering. Landaian (gradient) kadar lengas tanah ini menjadi pengendali aliran massa beserta zat hara yang terlarut di dalamnya menuju akar. Dalam difusi, air menjadi medium gerakan hara terlarut. Zat hara terlarut bergerak dari tempat yang berlarutan lebih pekat (tekanan osmose lebih tinggi) ke tempat berlarutan lebih encer (tekanan osmose lebih rendah). Karena akar menyerap laruatn ahar, larutan tanah di sekitar perkaran menjadi lebih encer sehingga terjadi gerakan difusi zat hara terlarut menuju akar. Dalam serapan langsung oleh akar, ion hara diserap akar melalui pertukaran ion antara akar dan larutan tanah (koloid tanah) atau antara akar dengan kompleks jerapan (absorption) tanah. Proses respirasi akar menghasilkan H+, OH-, dan HCO3-. Ion H+ dipertukarkan dengan hara kation, sedangkan ion OH- dan HCO3- dipertukarkan dengan hara anion. Ion hara yang sampai di permukaan akar melalui aliran massa dan difusi, juga diserap akar melalui proses pertukaran ion. Oleh karena itu, kondisi dan suasana tanah yang menghambat atau mengganggu respirasi akar akan merugikan penyerapan hara oleh tanaman.
       Aliran massa dan difusi akan memperluas jangkaun akar memperoleh hara karena zat hara tidak perlu menempel pada permukaan akar untuk dapat diserap. Hal ini penting untuk diperhatikan dari segi efisiensi pemupukan, karena bahan pupuk tidak mungkin diletakkan menempel pada akar, yang dapat mengakibatkan plasmolisis. Oleh karena itu, aliran massa dan difusi merupakan mekanisme utama penyerapan hara oleh tanaman dan air menjadi faktor penentu tindakan agronomi. Ada 3 titik pokok dinamika kelengasan tanah, yaitu titik jenuh, kapasitas lapangan, dan titik layu tetap. Pada titik jenuh, semua pori tanah, baik mikro maupun makro, terisi penuh oleh air. Pada kapasitas lapangan, tanah tinggal mengandung air yang tertambat di dalam pori mikro, sedangkan air yang semula mengisi pori makro telah hilang terperkolasikan oleh kakas (force) gravitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar